Gaya Hidup Minimalis

Amran Hasbi Adityaputra
4 min readNov 2, 2021

--

Steve Jobs duduk di kamarnya
Versi Suara

Saat jam istirahat kerja, biasanya di jam 12–1 siang, saudaraku, Amri, memberikan sebuah thread Twitter yang membahas tentang gaya hidup minimalis.

Poin yang ingin disampaikan di thread tersebut adalah:

“Banyak content creator yang buat konten minimalis tapi fake. Mereka sebenarnya bukan menjalani hidup minimalis, tapi cuma hidup estetik. Lap dapur bahkan branded, padahal kaos bekas tak layak pakai bisa dipake jadi lap. Sebenarnya ya fake minimalism itu cuma hidup estetik dengan sedikit barang. Wataknya mah tetep konsumtif.”

Sudah jelas bahwa minimalis adalah lawan dari maksimalis, yang biasanya berhubungan dengan kuantitas atau jumlah barang yang dimiliki.

Untuk memahami makna asli dari gaya hidup minimalis, let’s take a step back.

Sejarah Minimalis

Minimalisme atau seni minimal adalah aliran dalam seni lukis dan pahat sejak tahun 1960-an yang memiliki kecenderungan mengurangi bentuk artistik atas dasar pertimbangan logika dan kesederhanaan (wikipedia).

Dari sejarahnya, there’s no wonder, alias gak perlu heran kalau gaya hidup minimalis erat kaitannya dengan estetika, karena pada dasarnya merupakan aliran dalam bidang kesenian.

Kalau kalian berusaha mendalami gaya hidup minimalis, kalian harus siap menemukan istilah-istilah yang beragam seperti essentialism dan intentionalism. Tapi intinya sama;

Gaya hidup untuk menjalani hidup secara lebih sadar, secara lebih intentional.

Lebih jelasnya, sadar dalam memberi barang-barang; Barang-barang yang dibutuhkan, bukan yang diinginkan.

What you need, not what you want.

Nah, lebih keliatan bedanya kan kalo di bahasa Inggriskan.

Minimalis Zaman Now

Balik ke permasalahan content creator minimalis di awal.

Salah satu content creator minimalis favoritku adalah Matt D’ Avella, dalam salah satu videonya ia berusaha menjawab pertanyaan “Is minimalism dead?”

Dan jawabannya iya.

Dalam video tersebut, ia mencoba melakukan riset di google trends perihal hasil pencarian dari kata “minimalism”, dan pencarian kata tersebut mengalami kenaikan yang signifikan di tahun 2016, ketika keluar film dokumenter minimalis (Matt adalah sutradaranya btw), lalu ada serial Marie Kondo di netflix, lalu ada buku karangan Cal Newport yang berjudul Digital Minimalism.

Yes, minimalis. Minimalis everywhere.

Oke serius, kita beneran balik ke permasalahan content creator minimalis di awal.

Anggap kita membeli barang berdasarkan dua alasan utama; Berdasarkan fungsi atau keindahannya.

Kalau seorang minimalis, cenderung membeli barang karena fungsinya ketimbang keindahannya. Kalau yang “fake minimalis”, cenderung mementingkan alasan keindahannya ketimbang fungsinya.

Contoh ketika seseorang membeli batu bata:

Batu Bata Supreme

Fungsi utama dari batu bata ialah menjadi pondasi dasar suatu rumah. Kalau mau terlihat lebih estetik atau indah (atau hypebeast), mungkin ada orang yang akan membeli batu bata Supreme.

Harga batu bata biasa adalah 600 perak, sedangkan batu bata Supreme 600rb. Kebayang kan harga rumah mana yang lebih mahal?

Fake minimalis; Memilih keindahan ketimbang fungsinya.

Hemat tapi Berkualitas

Logikanya, kalau membeli sedikit barang, pengeluarannya juga sedikit. Jadi lebih hemat.

Tapi bukan berarti kamu harus memilih barang murahan yang kualitasnya buruk; Beli batu bata 600 perak akan membuat rumah kamu kokoh selama puluhan tahun, sedangkan yang 300 perak hanya lima tahun. Ini sih buka hemat, tapi pelit.

Pasti ada sweet spotnya; Barang berkualitas dengan harga terjangkau.

Dan sekarang muncul pertanyaan utamanya:

Bagaimana cara mengetahui sweet spot?

Dengan subtracting.

Minimalis Paradox

Untuk menjelaskan konsep subtracting, menurutku akan lebih mudah ketika kamu tau terlebih dulu istilah “minimalis paradox”. Well, ini bukan istilah ilmiah sih, melainkan ciptaanku sendiri, but let me explain what it is.

Awalnya aku mengetahui Matt D Avella dari film dokumenternya yang melibatkan the minimalists, sebuah brand yang diprakarsai oleh Joshua Fields Millburn dan Ryan Nicodemus. Selain Joshua, Ryan, dan Matt, masih banyak content creator yang berfokus dalam topik minimalis, seperti Lana Blakely, Nate O’Brien, atau Joshua Becker.

Dengan mengetahui alasan mereka memilih untuk menerapkan gaya hidup minimalis, muncul sebuah pola di jawaban mereka:

Sudah mencapai jabatan dengan gaji yang tinggi -> Beli banyak barang dengan harapan lebih bahagia -> Tidak merasa bahagia -> Pilih minimalis -> Merasa bahagia

Pola ini yang aku sebut Minimalis Paradox;

Suatu keadaan di mana untuk menjadi minimalis, harus jadi maksimalis terlebih dahulu. Harus merasakan dulu rasanya punya uang atau barang yang berlebih.

Nah proses menjadi maksimalis ini yang akan berkaitan dengan subtracting.

Subtracting

Slogan utama dari kaum minimalis adalah “less is more”, tapi terkadang “less is less” karena kita hanya mampu membeli sedikit barang. Sehingga kita tidak tau mana barang yang berkualitas dan cocok dengan kebutuhan kita.

Lao Tzu pernah mengatakan:

“To attain knowledge, add things every day. To attain wisdom, subtract things every day.”

Bayangkan hobi kamu adalah belajar, karena kamu ingin memahami sesuatu.

Kamu akan membeli banyak buku untuk dibaca, tapi apakah kamu akan paham isi dari semua buku yang kamu baca? Mungkin sekedar ingat, bukan paham.

Bagaimana jika begini, kamu hanya membeli beberapa buku, kamu baca lalu rangkum hal-hal penting dari buku tersebut. Apakah kamu akan paham isi dari semua buku yang kamu baca? Tentu.

Pahami dulu kebutuhan kamu, pahami dulu keterbatasan anggaran kamu, pahami dulu kelebihan dan kekurangan barang yang akan kamu beli. Proses pemahaman ini disebut subtracting.

Subtracting berarti proses pengumpulan informasi sebanyak mungkin agar lebih benar-benar memahami hal yang kamu ingin beli.

Pahami terlebih dahulu apa yang ingin kamu lakukan, jangan langsung mengerucutkan pilihan yang tersedia.

Dengan sedikit barang, ruangan kita akan terlihat lebih rapih.

Dengan sedikit barang, akan tercipta sepetak ruang kosong yang luas.

Ruang kosong untuk berekspresi, atau memilih kegiatan yang membuat hidup kita lebih bermakna.

--

--