Berpikiran Rasional Setiap Saat? (Hampir) Mustahil.

Amran Hasbi Adityaputra
6 min readFeb 26, 2022

--

Menjadi orang paling rasional adalah tujuan akhir dari semua jenjang pendidikan; Bisa berpikir lebih, bisa bersender akan data atau fakta. Berpikir adalah cara menuju kesuksesan.

Mengandalkan otak lebih baik ketimbang mengandalkan perasaan.

Harapannya begitu. Kenyataannya?

Kita dilatih untuk berhitung, bukan berpikir. All hail big data dengan segala metode analisisnya.

Di buku “The Black Swan”, Nassim Nicholas Taleb juga mengatakan bahwa:

“Social sciences it’s not real science”

Walau menyakitkan bagi alumni rumpun soshum (aku salah satunya), perkataan tersebut ada benarnya.

Soshum berbeda dengan Saintek, sederhananya begini:

Di soshum, banyak variabel yang tidak bisa dikendalikan, atau tidak terlihat, bahkan tidak diketahui dengan sadar;

Yang tidak diketahui dengan sadar ini disebut dengan bias.

Mari Samakan Pengertian Bias

Kalau kamu penggemar K-Pop, maka bagian ini penting untuk dipahami. Bias di dunia K-Pop, yang aku pahami, merujuk pada idola favorit di sebuah boyband atau girlband. Bener kan? Kalau salah, tolong jangan cancel saya.

Di KBBI, bias adalah belokan arah dari garis tempuhan karena menembus benda bening yang lain.

Nah, benda bening ini adalah “fitur” yang sudah tertanam dalam diri kita, dengan sejarah evolusi panjang. Benda bening ini yang kita sebut bias, atau:

“Prasangka terhadap keputusan yang telah dipengaruhi oleh keyakinan tertentu.”

Ada berapa bias? Banyak.

Tapi, ada lima bias yang penting untuk kamu sadari.

Kenapa penting? Supaya keputusan yang kamu ambil bisa menghasilkan hasil yang lebih baik.

1. Survivorship Bias

Berapa pahlawan nasional yang kamu ketahui?

Berapa pahlawan nasional yang gugur di medan perang?

Pastinya lebih banyak dari jumlah pahlawan yang kamu ketahui.

Itu lah survivorship bias;

“Bias pemilihan sampel yang terjadi ketika kumpulan data hanya mempertimbangkan ‘yang selamat (survive)’, tidak mempertimbangkan ‘yang tidak selamat’.”

Enggak usah jauh-jauh deh, coba lihat judul artikel yang beredar:

“7 Kebiasaan Orang Sukses yang Harus Kamu Ikuti”, ”4 Tips Agar Kencan Pertama Kamu Berhasil”, atau “9 Aksesoris Laptop Bikin Lebih Produktif”.

Itu yang clickbait, yang menyumbangkan banyak pageviews, agar KPI si content writernya tercapai.

Tapi, apa salahnya mengikuti saran dari orang yang sukses? Tidak salah. Tapi ada dua poin yang sebaiknya dipertimbangkan.

Pertama, kamu dan si orang sukses berbeda, dari sisi mana pun. Keluarga, lingkungan, genetik, atau pola pikir, semua faktor tersebut pasti mempengaruhi tingkat kesuksesan seseorang.

Kedua, kita akan “buta” kalau hanya mendengar saran untuk sukses, kita tidak akan bisa membedakan antara tantangan dengan jalan buntu. Untuk mengetahui perbedaannya, kita perlu tahu alasan kenapa seseorang gagal ketimbang sukses;

Tantangan yes, jalan buntu stop.

2. Loss Aversion

Pasti terasa senang kalau menemukan uang 100rb di jalan. Tapi tau gak apa yang lebih kerasa?

Kehilangan uang 100rb.

Itu lah loss aversion:

“Kondisi ketika kerugian yang bersifat nyata atau potensial dianggap oleh individu secara psikologis maupun emosional memiliki dampak yang lebih buruk dibandingkan dengan keuntungan yang nilainya setara.”

Singkatnya, lebih kerasa kehilangan sesuatu ketimbang mendapatkan sesuatu.

Rasa takut akan kehilangan hal yang dimiliki akan mengarah ke keputusan-keputusan konyol.

Coba lihat fenomena toxic relationship;

Walau teman-temannya mengatakan hubungannya toxic, si cewek atau cowok tetap saja mempertahankannya. Entah karena sudah “berinvestasi” terlalu banyak di hubungan itu, atau ketakutan tidak akan mendapat pasangan lagi, mereka jadi buta akan pilihan lebih baik yang tersedia di masa depan.

3. The Availability Bias

Bayangkan kamu ingin membeli handphone, setelah menonton banyak video review, kamu tiba-tiba teringat salah satu produk, iPhone.

Bukan hanya iPhone yang kamu ingat, tapi kamu juga mengingat pengalaman saat menggunakan iPhone orang lain. Kamu teringat kualitas kamera yang oke, perpindahan aplikasi yang sangat mulus, dan oh, bubble pesan yang berwarna hijau.

Setelah mengingat semua itu, akhirnya kamu memutuskan untuk membeli iPhone, terlepas dari informasi yang kamu dapat dari video-video review.

Welcome to availability bias;

Kecenderungan mengasumsikan informasi yang muncul di pikiran dengan mudah merupakan hal paling penting dalam pengambilan keputusan.

Nah, yang jadi masalah adalah ketika membuat keputusan berdasarkan emosional, fakta yang sudah dikenal, serta memori yang meninggalkan kesan dan mudah diingat oleh kita.

Jika karena kenal, bukan berarti keputusan yang tepat.

4. Anchoring

Kalau diterjemahkan secara harfiah, anchoring artinya menjangkarkan. Jangkar.

Apa yang dijangkarkan?

Mari simak penelitian berikut;

Beberapa hakim diminta untuk membaca deskripsi seorang kriminal, lalu melempar sepasang dadu yang sudah diakali supaya menghasilkan total angka 3 atau 9.

Setelah dilempar, para hakim ditanya berapa lama mereka akan memvonis si kriminal, lebih besar atau kecil dari angka yang ditunjukkan dadu.

Terakhir, mereka diminta menetapkan hukuman penjara yang akan dijatuhkan ke si kriminal.

Drum role please.

Hasilnya, rata-rata hakim yang mendapat angka 9 dari dadu akan menghukumnya 8 bulan penjara, yang mendapat 3 akan menghukumnya selama 5 bulan penjara.

Angka 3 dan 9 merupakan jangkarnya, jangkar yang mempengaruhi keputusan seseorang.

Coba lihat proses negosiasi, peraturan pertama dalam bernegosiasi adalah mengajukan angka serendah mungkin dari harga awal kan? Supaya harga yang disepakati nanti bisa lebih murah.

5. Confirmation Bias

Ketika kamu membuka fyp di tiktok atau explore di Instagram, apakah konten yang kamu lihat adalah konten yang kamu pilih? Secara tidak langsung, iya. Konten tersebut diatur sedemikian rupa agar sesuai dengan kesukaan kamu.

Kalau kamu suka konten itu, pastinya kamu akan menghabiskan waktu lebih lama di platform itu. Itu tugas utama dari algoritma.

Lantas, apa hubungannya dengan confirmation bias?

Kalau konten di fyp atau explore kamu pilih secara tidak langsung, kalau confirmation bias dilakukan secara langsung. Definisi dari bias ini adalah:

“Kecenderungan untuk mencari dan menyukai informasi yang menegaskan keyakinan kita, sekaligus mengabaikan informasi yang bertentangan dengan keyakinan kita.”

Misalkan kamu adalah orang yang mendukung gerakan feminis, kamu akan cenderung mencari informasi positif tentang feminis ketimbang mencari kritiknya.

Kecenderungan ini juga sudah tertanam sangat dalam sejarah manusia. Yang pasti, sangat erat dengan tribalisme.

Tribalisme itu “kami benar, mereka salah”.

Terus gimana?

Setelah mengetahui bias-bias tersebut, rasanya cukup mengerikan.

Mengerikan bahwa ternyata kita tidak se”berkehendak bebas” itu. Yang membuatnya mengerikan adalah bahwa lima bias tadi sudah dibuktikan secara ilmiah.

Sebagai manusia, kita harus tetap optimis bahwa kita bisa mengatasi bias-bias tersebut. Tapi dengan apa?

Sejauh ini, meningkatkan rasa sadar-diri (self-awareness) adalah solusi yang ampuh. Oh, Psikotes, data, atau tes teknikal I think works too.

Sebelum sadar, kita harus paham dulu. Sebelum paham, kita harus tahu dulu.

Dan sekarang kamu sudah tahu, silakan pahami cara kamu mengambil sebuah keputusan, lalu nanti kamu akan sadar kapan kamu jatuh ke salah satu “lubang” bias di atas.

--

--